Jumat, 13 Juni 2014

PENGKREDITAN

Jika kita memahami betul, makna kata kredit bukan hanya berarti hutang, tetapi juga suatu bentuk trust atau percaya. Dalam artian pihak pemberi kredit mempercayai pihak penerima kredit. Jadi dengan kata lain, kredit merupakan bentuk interaksi berdasarkan kepercayaan. Kata kredit sendiri berasal dari bahasa Inggris "Credit" yang menurut kamus webster berarti trustwortiness or credibility. Sebagai kata benda "credible" yang berarti dapat diperaya. 
 
 
Berikut ini adalah pengertian dan definisi kredit:
 
# Pasal 1 (11) UU NO.10/1998
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga
 
# RAYMOND P. KENT
”Credit may be defined as the right to receive payment or the obligation to make payment on demand or at some future time on account of an immediate transfer of goods .”
Kredit bisa didefinisikan sebagai hak untuk menerima pembayaran atau kewajiban untuk melakukan pembayaran atas permintaan atau pada beberapa waktu mendatang dalam bentuk transfer secara langsung
 
# KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA
Kredit adalah penambahan saldo rekening, sisa hutang, modal. dan pendataan bagi penabung
 
# THOMAS SUYATNO, 1998
Kredit ialah penyediaan uang, atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara bank dan lain pihak dalam hal, pihak peminjam berkewajiban untuk mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam beserta bunganya sesuai dengan kesepakatan.
 
# DR. AL-AMIEN AHMAD
Kredit ialah membayar hutang dengan berangsur-angsur pada waktu yang ditentukan
 
# HENRY DUNNING MACLEOD, 1856
Credit is is where persons give their services or commodities for a "promise to pay," instead of actual payment
 
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,  berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
 
ada beberapa jenis kredit yang dikemukakan oleh Kasmir dalam bukunya Manajemen Perbankan (2010: 76), diantaranya:

dilihat dari segi kegunaan:
1)   kredit investasi
kredit investasi merupakan kredit jangka panjang yang biasanya digunakan untuk keperluan perluasan usaha atau membangun proyek/pabrik baru atau untuk keperluan rehabilitasi. contoh kredit investasi misalnya untuk membangun pabrik atau membeli mesin-mesin. masa pemakaiannya untuk suatu periode yang relatif lebih lama dan dibutuhkan modal yang relatif besar.

2)   kredit modal kerja
kredit modal kerja merupakan kredit yang digunakan untuk keperluan meningkatkan produksi dalam operasionalnya. sebagai contoh kredit modal kerja diberikan untuk membeli bahan baku, membayar gaji pegawai atau biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan proses produksi perusahaan.

dilihat dari segi tujuan kredit
1)   kredit produktif
kredit yang digunakan untuk peningkatan usaha atau produksi atau investasi. kredit ini diberikan untuk menghasilkan barang atau jasa. sebagai contohnya kredit untuk membangun pabrik yang nantinya akan menghasilkan barang dan kredit pertanian akan menghasilkan produk pertanian, kredit pertambangan menghasilkan bahan tambang atau kredit industri akan menghasilkan barang industri.

2)   kredit konsumtif
kredit yang digunakan untuk dikonsumsi secara pribadi. dalam kredit ini tidak ada pertambahan barang dan jasa yang dihasilkan, karena memang untuk digunakan atau dipakai oleh seseorang atau badan usaha. sebagai contoh kredit untuk perumahan, kredit mobil pribadi, kredit perabotan rumah tangga dan kredit konsumtif lainnya.

3)   kredit perdagangan
merupakan kredit yang diberikan kepada pedagang dan digunakan untuk membeli aktivitas perdagangannya seperti untuk membeli barang dagangan yang pembayarannya diharapkan dari hasil penjualan barang dagangan tersebut. kredit ini sering diberikan kepada suplier atau agen-agen perdagangan yang akan membeli barang dalam jumlah besar. contoh kredit ini misalnya kredit ekspor dan impor.

dilihat dari segi jangka waktu
1)   kredit jangka pendek
merupakan kredit yang memiliki jangka waktu kurang dari 1 tahun atau paling lama 1 tahun dan biasanya digunakan untuk keperluan modal kerja. contohnya untuk peternakan, misalnya kredit peternakan ayam atau jika untuk pertanian misalnya tanaman padi atau palawija.

2)   kredit jangka menengah
jangka waktu kreditnya berkisar antara 1 tahun sampai dengan 3 tahun dan biasanya kredit ini digunakan untuk melakukan investasi. sebagai contoh kredit untuk pertanian seperti jeruk, atau peternakan kambing.

3)   kredit jangka panjang
merupakan kredit yang masa pengembaliannya paling panjang. Kredit jangka panjang waktu pengembaliannya di atas 3 tahun atau 5 tahun. biasanya kredit ini untuk investasi jangka panjang seperti perkebunan karet, kelapa sawit atau manufaktur dan untuk kredit konsumtif seperti kredit perumahan.

dilihat dari segi jaminan
1)   kredit dengan jaminan
merupakan kredit yang diberikan dengan suatu jaminan. jaminan tersebut dapat berbentuk barang berwujud atau tidak berwujud atau jaminan orang. artinya setiap kredit yang dikeluarkan akan dilindungi minimal senilai jaminan atau untuk kredit tertentu jaminan harus melebihi jumlah kredit yang diajukan si calon debitur.

2)   kredit tanpa jaminan
merupakan kredit yang diberikan tanpa jaminan barang atau orang tertentu. kredit jenis ini diberikan dengan melihat prospek usaha, karakter serta loyalitas atau nama baik si calon debitur selama berhubungan dengan bank atau pihak lain.

dilihat dari segi sektor usaha
1) kredit pertanian, merupakan kredit yang dibiayai untuk sektor perkebunan atau pertanian. sektor utama pertanian dapat berupa jangka pendek atau jangka panjang.

2) kredit peternakan, merupakan kredit yang diberikan untuk sektor peternakan baik jangka pendek maupun jangka panjang. untuk jangka pendek misalnya peternakan ayam dan jangka panjang ternak kambing atau ternak sapi.

3) kredit industri, merupakan kredit yang diberikan untuk membiayai industri, baik industri kecil, industri menengah atau industri besar.

4) kredit pertambangan, merupakan kredit yang diberikan kepada usaha tambang. Jenis usaha tambang yang dibiayai biasanya dalam jangka panjang, seperti tambang emas, minyak atau timah.

5)  kredit pendidikan, merupakan kredit yang diberikan untuk membangun sarana pendidikan atau dapat pula berupa kredit untuk para mahasiswa.

6) kredit profesi, merupakan kredit yang diberikan kepada para kalangan profesional seperti, dosen, dokter atau pengacara.

7) kredit perumahan, yaitu kredit untuk membiayai pembangunan atau pembelian perumahan dan biasanya berjangka waktu panjang.

8)   dan sektor-sektor lainnya.

Unsur-Unsur Kredit
1. Kepercayaan
Yaitu suatu keyanikan pemberi kredit bahwa kredit yang akan diberikan (berupa uang, barang, jasa) akan benar-benar diterima kembali di masa tertentu di masa dating.

2. Kesepakatan
Kesepakatan ini dituangkan dalam suatu perjanjian di mana masing-masing pihak menandatangani hak dan kewajibannya masing-masing.

3. Jangka waktu
Jangka waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati.

4. Risiko
Adanya suatu tenggang waktu pengembalian akan menyebabkan suatu resiko tidah tertagihnya / macet pemberian kredit. Semakin panjang suatu kredit semakin besar resikonya dan sebaliknya

5. Balas jasa
Merupakan keuntungan atas pemberian suatu kredit atau jasa tersebut yang dikenal dengan nama bunga. Balas jasa dalam bentuk bunga dan biaya administrasi kredit ini merupakan keuntungan bank. 

Prinsip Pemberian Kredit
Dalam melakukan penilaian kriteria-kriteria serta aspek penilaian tetap sama. Biasanya kriteria penilaian yang umum harus dilakukan oleh bank untuk mendapatkan nasabah yang benar-benar layak untuk diberikan, dilakukan dengan analisis 5C dan 7P.

1.  Character Character merupakan sifat atau watak seseorang. Sifat atau watak dari seseorang yang akan diberikan kredit benar-benar harus dipercaya. Dalam hal ini bank meyakini benar bahwa calon debiturnya memiliki reputasi baik, artinya selalu menepati janji dan tidak terlibat hal-hal yang berkaitan dengan kriminalitas, misalnya penjudi, pemabuk, atau penipu. Untuk dapat membaca sifat atau watak dari calon debitur dapat dilihat sari latar belakang nasabah, baik yang bersifat latar belakang pekerjaan maupun yang bersifat pribadi seperti cara hidup atau gaya hidup yang dianutnya, keadaan keluarga, hobi dan jiwa sosial.

2.  Capacity Capacity adalah analisis untuk mengetahui kemampuan nasabah dalam membayar kredit. Bank harus mengetahui secara pasti atas kemampuan calon debitur dengan melakukan analisis usahanya dari waktu ke waktu. Pendapatan yang selalu meningkat diharapkan kelak mampu melakukan pembayaran kembali atas kreditnya. Sedangkan bila diperkirakan tidak mampu, bank dapat menolak permohonan dari calon debitur. Capacity sering juga disebut dengan nama Capability.

3.  Capital Capital adalah kondisi kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan yang dikelola calon debitur. Bank harus meneliti modal calon debitur selain besarnya juga strukturnya. Untuk melihat penggunaan modal apakah efektif, dapat dilihat dari laporan keuangan (neraca dan laporan rugi laba) yang disajikan dengan melakukan pengukuran seperti dari segi likuiditas dan solvabilitasnya, rentabilitas dan ukuran lainnya.

4.  Condition
Pembiayaan yang diberikan juga perlu mempertimbangkan kondisi ekonomi yang dikaitkan dengan prospek usaha calon nasabah. Penilaian kondisi dan bidang usaha yang dibiayai hendaknya benar-benar memiliki prospek yang baik, sehingga kemungkinan kredit tersebut bermasalah relatif kecil.


5.  Collateral Collateral merupakan jaminan yang diberikan calon nasabah baik yang bersifat fisik maupun yang nonfisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah kredit yang diberikan. Jaminan juga harus diteliti keabsahannya, sehingga jika terjadi sesuatu, maka jaminan yang dititipkan akan dapat dipergunakan secepat mungkin.

Selanjutnya penilaian suatu kredit dapat pula dilakukan dengan analisis 7P kredit dengan unsur penilaian sebagai berikut:

1.  Personality
Yaitu menilai nasabah dari segi kepribadiannya atau tingkah lakunya sehari-hari maupun kepribadiaannya di masa lalu. Penilaian personality juga mencakup sikap, emosi, tingkah laku dan tindakan nasabah dalam menghadapi suatu masalah dan menyelesaikannya.


2.  Party
Yaitu mengklasifikasikan nasabah ke dalam klasifikasi atau golongan-golongan tertentu berdasarkan modal, loyalitas, serta karakternya sehingga nasabah dapat digolongkan ke golongan tertentu dan akan mendapatkan fasilitas kredit yang berbeda pula dari bank.


3.  Perpose
Yaitu mengetahui tujuan nasabah dalam mengambil kredit termasuk jenis kredit yang diinginkan nasabah. Tujuan pengambilan kredit dapat bermacam-macam sesuai kebutuhan. Sebagai contoh apakah untuk modal kerja, investasi, konsumtif, produktif dan lain-lain.


4.  Prospect
Yaitu untuk menilai usaha nasabah di masa yang akan datang apakah menguntungkan atau tidak dengan kata lain mempunyai prospek atau sebaliknya. Hal ini penting mengingat jika suatu fasilitas kredit yang dibiayai tanpa mempunyai prospek, bukan hanya bank yang rugi akan tetapi juga nasabah.


5.  Payment
Merupakan ukuran bagaimana cara nasabah mengembalikan kredit yang telah diambil atau dari sumber mana saja dana untuk pengembalian kredit. Semakin banyak sumber penghasilan debitur maka akan semakin baik. Sehingga jika salah satu usahanya merugi akan dapat ditutupi oleh usaha lainnya.


6.  Profitabillity
Untuk menganalisis bagaimana kemampuan nasabah dalam mencari laba. Profitability diukur dari periode ke periode, apakah akan tetap sama atau akan semakin meningkat, apalagi dengan tambahan kredit yang akan diperolehnya.


7.  Protection
Tujuannya adalah bagaimana menjaga agar kredit yang diberikan mendapatkan jaminan perlindungan, sehingga kredit yang diberikan benar-benar aman. Perlindungan yang diberikan oleh debitur dapat berupa jaminan barang atau orang atau jaminan asuransi.


Pedoman Kredit
Beberapa pedoman pemberian kredit:
1.Prinsip kehati - hatian
2.Organisasi dan manajemen perkreditan
3.Kebijakan persetujuan pemberian kredit
4.Administrasi perkreditan
5.Pengawasan kredit
6.Penyelesaian kredit bermasalah


PENGGOLONGAN KUALITAS KREDIT

menurut Suhardjono (2003: 256-257) kualitas kredit dapat digolongkan sebagai berikut :
  1. Lancar, Kredit yang digolongkan lancar apabila memenuhi criteria sebagai berikut: a. Pembayaran tepat waktu, perkembangan rekening Bank dan tidak ada tunggakan serta sesuai dengan persyaratan kredit, b.Hubungan debitur dengan Bank baik dan debitur selalu menyampaikan informasi keuangan secara teratur dan akurat, c. Dokumentasi kredit lengkap dan pengikatan agunan kuat.
  2. Dalam Perhatian Khusus (DPK), Kredit yang digolongkan Dalam Perhatian Khusus (DPK) apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga sampai 90 hari, b Jarang mengalami cerukan atau overdraft, c. Hubungan debitur dengan Bank baik dan debitur selalu menyampaikan informasi keuangan secara teratur dan masih akurat, d.  Dokumentasi kredit lengkap dan pengikatan agunan kuat, e. Pelanggaran perjanjian kredit yang tidak prinsipil.
  3. Kurang lancar, Kredit yang digolongkan kurang lancar apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: a.Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 90 hari sampai dengan 180 hari, b.  Terdapat cerukan atau overdraft yang berulang kali khususnya untuk menutupi kerugian operasional dan kekurangan arus kas, c. Hubungan debitur dengan Bank memburuk dan informasi keuangan debitur tidak dapat dipercaya, .  Dokumentasi kredit kurang lengkap dan pengikatan agunan yang lemah, d.  Pelanggaran terhadap persyaratan pokok kredit, e. Perpenjangan kredit untuk menghubungkan kesulitan keuangan.
  4. Diragukan, Kredit yang digolongkan diragukan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 180 hari sampai 270 hari, b. Terjadi cerukan atau overdraft yang bersifat permanen khususnya untuk menutupi kerugian operasional dan kekurangan arus kas, c. Hubungan debitur dengan Bank semakin memburuk dan informasi keuangan debitur tidak tersedia atau tidak dapat dipercaya, d. Dokumentasi kredit tidak lengkap dan pengikatan agunan yang lemah. e. Pelanggaran yang prinsipal terhadap persyaratan pokok dalam perjanjian kredit.
  5. Macet, Kredit yang digolongkan Macet apabila memenuhi criteria sebagai berikut: a. Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 270 hari, b. Dokumentasi kredit dan atau pengikatan agunan tidak ada


Berbagai Perhitungan Pengkreditan Pajak Masukan

Apakah Pajak Masukan itu? Pajak Masukan dapat dijelaskan secara sederhana sebagai Pajak Pertambahan Nilai yang harus Wajib Pajak bayar saat mendapatkan/memperoleh Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Istilah Pajak Masukan sangat erat kaitannya dari mekanisme pemungutan, pembayaran dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai. Metode pengkreditan Pajak Masukan berkaitan dengan salah satu prinsip pengenaan PPN, yaitu PPN pada hakikatnya hanya dikenakan pada perubahan nilai tambah dari BKP dan/atau JKP dalam setiap tingkatan rantai produksi dan distribusi dari BKP dan/atau JKP tersebut, dan hakekatnya penanggung terakhir dari beban Pajak Pertambahan Nilai adalah konsumen akhir. Berdasarkan Pasal 1 UU PPN definisi Pajak Masukan adalah :
”Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak”
Mengingat pengenaan PPN hanya atas nilai tambah dan penanggung beban pajak yang sesungguhnya adalah konsumen akhir, maka dalam setiap rantai produksi dan distribusi BKP atau JKP berlaku mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran yang dihitung per masa pajak dengan hasil akhir sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 9 ayat (3) dan ayat (4) UU PPN sebagai berikut :
  • Pasal 9 ayat (3) : ”Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar dari pada Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak”.
  • Pasal 9 ayat (4) : ”Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya”.
mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran menjadikan produsen dan distributor hanya berfungsi sebagai pemungut pajak saja dan sama sekali tidak menanggung beban Pajak Pertambahan Nilai. Selain mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran terdapat metode penghitungan Pajak Masukan secara deemed yang berlaku untuk Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu dan Pengusaha Kena Pajak yang peredaraan usahanya dalam satu tahun tidak melebihi jumlah tertentu. Dengan adanya metode deemed Pajak Masukan ini maka penanggung beban Pajak Pertambahan Nilai tidak lagi hanya dipikul oleh konsumen akhir tapi terbagi kepada dua pihak yaitu pengusaha dan konsumen.
Mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran, Dalam rangka penghitungan pengkreditan Pajak Masukan, mempunyai beberapa cara penghitungan tergantung dari kondisi tertentu yang terjadi pada Pengusaha Kena Pajak.  Sama halnya dengan metode pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran, pada metode deemed Pajak Masukan penghitungan penghkreditan Pajak Masukan juga terdapat beberapa cara yang berbeda tergantung kriteria dari Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan. Berikut ini  adalah berbagai metode dan penghitungan pengkreditan Pajak Masukan yang berlaku berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan :
1)     Mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran :
  • Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak.
Ketentuan yang mengatur kondisi Pengusaha Kena Pajak tersebut ada pada Pasal 9 ayat (6) UU PPN sebagai berikut :
”Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan”
Pada dasarnya pengkreditan Pajak Masukan bisa dilakukan selama berkaitan dengan adanya Pajak Keluaran yang dihasilkan sebagai kelanjutan adanya Pajak Masukan tersebut atau dengan kata lain pengeluaran WP untuk membeli Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak harus ada hubungannya dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh WP tersebut, keadaan jadi membingungkan apabila ketika Pengusaha Kena Pajak membeli BKP dan/atau JKP dikenai Pajak Masukan namun produk/jasa yang dihasilkan olehnya adalah barang dan/atau jasa yang tidak terutang PPN atau tidak dipungut PPN. Terhadap Pengusaha Kena Pajak tersebut berlaku Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 Tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak.
Untuk mengetahui perbedaan penyerahan terutang PPN dengan penyerahan tidak terutang PPN, perlu kita cermati bunyi Pasal 1 angka 6 dan angka 7 UU PPN sebagai berikut :
  • Pasal 1 angka 6 UU PPN : ”Penyerahan yang Terutang Pajak adalah penyerahan barang atau jasa yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, tidak termasuk penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai”
  • Pasal 1 angka 7 UU PPN : ”Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai”
Lebih jauh lagi kita cermati bunyi pasal 4A dan Pasal 16B UU PPN sebagai berikut, Pasal 4A :
Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:
  1. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
  2. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
  3. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
  4. uang, emas batangan, dan surat berharga.
Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
  1. jasa pelayanan kesehatan medis;
  2. jasa pelayanan sosial;
  3. jasa pengiriman surat dengan perangko;
  4. jasa keuangan;
  5. jasa asuransi;
  6. jasa keagamaan;
  7. jasa pendidikan;
  8. jasa kesenian dan hiburan;
  9. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
  10. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
  11. jasa tenaga kerja;
  12. jasa perhotelan;
  13. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
  14. Jasa penyediaan tempat parkir;
  15. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
  16. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
  17. Jasa boga atau katering
Pada dasarnya barang dan jasa tersebut diatas adalah barang dan jasa kena pajak, namun disebabkan kondisi tertentu dari fungsi dan sifat dari barang dan jasa tersebut sedemikian rupa hingga menjadi tidak dikenakan PPN.
Bunyi Pasal 16B sebagai berikut :
Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
  1. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
  2. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
  3. impor Barang Kena Pajak tertentu;
  4. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan
  5. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Perhitungan Pajak Masukan :
Penghitungan PM berdasarkan PMK No 78/PMK.03/2010 ini praktiknya adalah pertama-tama pada saat perolehan aktiva Pajak Masukan dikreditkan terlebih dahulu seluruhnya apabila berdasarkan perkiraan bahwa aktiva yang dibeli akan dipergunakan sepenuhnya untuk memproduksi BKP/JKP yang transaksinya terutang PPN, atau Pajak masukan dikreditkan terlebih dahulu pada masa terjadinya perolehan aktiva sebesar perkiraan persentasi porsi BKP/JKP yang transaksinya terutang PPN.
Selanjutnya setelah akhir tahun, Wajib Pajak akan menghitung kembali penggunaan sebenarnya dari aktiva tersebut, sehingga diketahui berapa persen penggunaan untuk penyerahan yang terutang PPN dan berapa persen penggunaan untuk penyerahan yang tidak terutang PPN. Apabila perbandingan yang sebenarnya telah didapat, maka Wajib Pajak wajib melakukan perhitungan kembali atas Pajak masukan yang telah dikreditkan ketika memperoleh aktiva dahulu, dengan cara menghitung koreksi berdasarkan persentasi sebenarnya dalam satu tahun tersebut hasilnya dikalkulasikan dengan Pajak Masukan yang telah dikreditkan, dilanjutkan dengan melakukan koreksi apabila berdasarkan perhitungan Pajak Masukan atas aktiva tersebut terlalu besar atau terlalu kecil dikreditkan. Jika terlampau kecil, selisih Pajak Masukan ditambahkan ke salah satu masa pajak di masa Januari, Februari atau Maret tahun berikutnya, demikian pula bila terjadi sebaliknya selisih Pajak Masukan dikurangkan dari salah satu masa pajak di masa januari, Pebruari atau maret tahun berikutnya. Apabila masa manfaat aktiva lebih dari satu tahun proses koreksi dilakukan secara bertahap selama masa manfaat aktiva yaitu empat tahun untuk BKP selain tanah dan bangunan.
Pada saat memperoleh BKP/JKP Pengusaha Kena Pajak memperkirakan jumlah transaksi yang akan terutang PPN dan tidak terutang, rumus penghitungan pengkreditan pajak masukan pada saat memperoleh BKP/JKP adalah :
P = PM x Z
dengan ketentuan: P = jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
PM = jumlah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak; Z = persentase yang sebanding dengan jumlah Penyerahan yangTerutang Pajak terhadap penyerahan seluruhnya (penyerahan terutang/seluruh penyerahan dalam setahun).
Penghitungan pengkreditan pajak masukan dalam rangka perhitungan kembali jika barang atau jasa merupakan aktiva tidak habis dalam satu tahun adalah :



PM
P = ——- x  Z


T

dengan ketentuan:
P’ adalah jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam 1 (satu) tahun buku; PM adalah jumlah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak; T adalah masa manfaat Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang ditentukan sebagai berikut: 1) untuk Barang Kena Pajak berupa tanah dan bangunan adalah 10 (sepuluh) tahun; 2) untuk Barang Kena Pajak selain tanah dan bangunan dan Jasa Kena Pajak adalah 4 (empat) tahun; Z’ adalah persentase yang sebanding dengan jumlah Penyerahan yang Terutang Pajak terhadap seluruh penyerahan dalam 1 (satu) tahun buku;
Hal yang perlu diperhatikan adalah :
  1. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata hanya digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan seluruhnya
  2. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata hanya digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan seluruhnya
  • Pengkreditan Pajak Masukan Pengusaha Kena Pajak Yang Belum Berproduksi : Pasal 9 ayat (2a) bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan. (topik ini telah pernah saya dibahas pada tulisan yang berjudul “Pengusaha Kena Pajak Gagal Produksi”)
  • Pengkreditan Pajak Masukan Atas Barang Kena Pajak Saat Restrukturisasi Perusahaan : Pasal 9 ayat (14) Dalam hal terjadi pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan yang belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengalihkan dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima pengalihan, sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya pengalihan dan Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau dikapitalisasi.
2)     Pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan (deemed Pajak Masukan) :
a)     Wajib bagi PKP yang melakukan kegiatan usaha tertentu :
i)        Pedagang eceran bermotor bekas : 1% * Omzet
ii)      Pedagang eceran emas perhiasan : 2% * Omzet
iii)    PKP beralih usaha diluar kegiatan usaha tertentu :
(1)   Dapat memilih menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan bagi PKP yang peredaraanushanya tidak melebihi jumlah tertentu; atau
(2)   Menggunakan mekanisme PK PM
b)     Dapat bagi PKP yang peredaraan usahanya dalam 1 tahun tidak melebihi jumlah tertentu :
i)        PKP yang peredaraan usahanya dalam 1 (satu) tahun buku tidak melebihi Rp 1.800.000.000,- :
(1)   Penyerahan BKP : 4% * Omzet
(2)   Penyerahan JKP : 3% * Omzet
ii)      PKP yang peredaraan usahanya dalam 1 (satu) tahun buku melebihi Rp 1.800.000.000,- : wajib memakai mekanisme PK PM 

REFERENSI






Tidak ada komentar:

Posting Komentar